Kamis, 20 Maret 2014

Wisata Religi Kelenteng/Cetya Dharma Ratna Dabo Singkep

Dabo – Aroma hio yang terbakar menyeruak kencang ke dalam lubang hidung saat berkunjung ke kelenteng yang usianya diyakini sudah ratusan tahun. Beratap hijau dengan dinding yang didominasi oleh warna merah, kelenteng ini menjadi pusat kegiatan warga Tionghoa di Dabo dan sekitarnya saat merayakan Tahun Baru Imlek.
Tak hanya Tonghoa di Dabo dan sekitarnya saja yang wajib datang ke kelenteng ini, para perantau yang kembali di saat Imlek, juga wajib mengunjunginya. Sebuah pedupaan seakan menyambut siapa saja yang datang di pintu masuk kelenteng, yang diapit dua tiang bulat yang bercat merah. Sebuah tulisan beraksara Mandarin, tepat berada di atas pintu masuk kelenteng.




Siapa yang membuat kelenteng ini dan bagaimana kelenteng ini bisa berdiri segak seperti sekarang? Tidak satu pun. Jangankan orang, bahkan sekedar secarik catatan tertulis pun sulit ditemui.
“Kelenteng ini sudah berumur ratusan tahun. Sayangnya, tidak ada buku yang menceritakan bagaimana kelenteng ini berdiri,” kata pengurus Kelenteng Cetiya Dharma Ratna, Halim Untung, kepada Tanjungpinang Pos, Minggu (2/2).
Dikatakannya, pembatasan penyebaran agama Buddha di Dabo, Singkep, saat zaman orde baru, membuat masyarakat Tionghoa pada saat itu tidak berani berbicara tentang keberadaan kelenteng. Pengurus kelenteng tidak berani menceritakan asal usul kelenteng karena khawatir mengancam keselamatan pengurus.
“Satu-satunya bukti sejarah berdirinya kelenteng adalah sebuah batu yang bertuliskan tahun pendirian,” ucapnya.
Pria berpostur atletis ini menuturkan, kepengurusan kelenteng Cetiya Dharma Ratna merupakan kepercayaan yang diberikan kepada keluarga besarnya dari generasi ke generasi selanjutnya.
“Berkat bantuan masyarakat Tionghoa kelenteng ini terus berkembang dari tahun ke tahun,” ucapnya.
Informasi yang diperoleh koran ini, kelenteng Cetiya Dharma Ratna merupakan salah satu kelenteng yang menjadi tujuan kunjungan wisatawan.
Kelenteng yang tepat berdiri di tengah Kota Dabo ini, awalnya, merupakan kelenteng keluarga yang berdiri di pinggiran kota, tepatnya Desa Batu Berdaun.Seiring perkembangan zaman dan bertambahnya masyarakat Tionghoa yang beribadah, kelenteng ini dipindahkan ke tengah pemukiman masyarakat. Secara bahu-membahu masyarakat menjual barang sembahyang. Sehingga, kelenteng ini terus berkembang hingga seperti sekarang. Ramai dikunjungi dan jadi pusat kegiatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar